PERTAHANKAN TRADISI, PISAHKAN ADAT DAN AGAMA

Posted: Oktober 15, 2010 in Wisata

Desa Ngadas, Komunitas Tengger Malang

Berbekal medan alam yang cukup menantang, perjalanan menuju Ngadas amat cocok bagi wisatawan yang suka tantangan dan petualangan. Ngadas juga merupakan jalan alternatif menuju ke gunung Bromo. Keunikan lain yang membuat Desa Ngadas ‘wajib’ dikunjungi adalah toleransi kehidupan beragama masyarakatnya. Mayoritas masyarakatnya memeluk Budha, namun Islam dan Hindu dapat hidup rukun dan berdampingan.

Satu-satunya di Malang
Terletak 48 km dari kabupaten Malang, Desa Ngadas merupakan desa yang didiami komunitas Suku Tengger. Sebenarnya, desa  Suku Tengger sendiri berjumlah 37 desa yang tersebar di 4 kabupaten yang berada di area Bromo-Semeru. Jika di Lumajang, Probolinggo dan Pasuruan, desa Tengger tersebar diberbagai tempat maka tidak demikian dengan di Malang. Ngadas adalah satu-satunya desa Suku Tengger yang berada di Malang.
Awal mula keberadaan desa Ngadas sendiri dimulai tahun 1774. Ketika itu, terdapat seorang seorang tokoh bernama Mbah Sedhek beserta 7 pengikutnya yang membuka Desa Ngadas. Orang-orang Tengger yang mendiami Ngadas sekarang pun merupakan keturunan Mbah Sedhek beserta 7 pengikutnya. Tokoh lain yang turut berperan dalam membangun Desa Ngadas adalah Mbah Kadar,seorang romusha yang dibawa pemerintah kolonial Jepang pada masa Perang Dunia II.
Kawasan Ngadas sendiri sebenarnya terdiri dari dusun Jarak Ijo yang berada dibawah serta Desa Ngadas itu sendiri. Uniknya, desa tersebut hanya didiami Suku Tengger dan tidak ada warga yang berstatus sebagai pendatang. Hal tersebut makin diperkuat dengan aturan tak tertulis yang berlaku di Desa Ngadas bahwa tanah yang dimliki Suku Tengger tidak boleh diperjualbelikan.Suku Tengger Ngadas sendiri terkenal sangat ramah terhadap pengunjung yang datang kesana.
Mayoritas penduduk Ngadas bermata pencaharian sebagai petani.Umumnya,mereka memiliki ladang yang tersebar disekitar Desa Ngadas.Hasil andalan pertanian Ngadas berupa kentang dan bawang pre yang dijual ke Batu dan Lawang. Selain itu,warga Ngadas juga terbiasa memiliki ternak yang dikandangkan didekat ladang mereka.
Hal lain yang bisa ditemui ketika berkunjung ke Ngadas,disepanjang jalan banyak dijumpai warga yang memakai sarung yang diikatkan ke badan. Sarung tersebut merupakan ciri khas Suku Tengger Ngadas yang berfungsi untuk mengusir hawa dingin serta agar tidak nyasar sebagaimana pepatah yang berlaku di Ngadas,”ora nyasar ora ndhelurung”. Akibat hawa dingin yang menyelimuti Desa Ngadas pula sehingga rata-rata rumah yang ada disana memiliki tungku yang biasa digunakan untuk menghangatkan badan.
Pegang Teguh Tradisi
Jika mayoritas desa Tengger yang tersebar di Lumajang, Pasuruan dan Probolinggo didominasi agama Hindu,tidak demikian di Desa Ngadas.Justru Suku Tengger yang mendiami desa tersebut lebih banyak memeluk Budha. Menurut Kartono selaku Kepala Desa Ngadas,komposisi penduduk yang menganut Budha sekitar 60 persen, Islam 30 persen dan Hindu sendiri menjadi minoritas dengan dianut 10 persen penduduk Ngadas. “Hal inilah yang menjadi keunikan desa Ngadas,”terang pria asal Ponorogo tersebut.
Tidak hanya itu saja, keanekaragaman agama yang dianut Suku Tengger Ngadas juga berimbas dalam kehidupan bermasyarakat. Alih-alih terjadi permasalahan terkait agama justru yang tercipta adalah kerukunan umat beragama yang hidup berdampingan dengan baik.Bahkan bisa dibilang, Ngadas merupakan prototype bagaimana kehidupan masyarakat beragama yang sebenarnya. Hal tersebut diakui sendiri oleh Kartono yang mengaku tidak pernah ada masalah kehidupan beragama di Ngadas.
Salah satu faktor yang mempengaruhi kehidupan beragama masyarakat Suku Tengger adalah tradisi yang sedari dulu dipegang teguh secara turun temurun. Berbagai ritual upacara masih dilaksanakan sampai sekarang oleh Suku Tengger Ngadas. Tidak peduli apakah orang itu Hindu,Budha ataupun Islam sekalipun. Bagi masyarakat Ngadas justru tradisi yang mereka jalankan tersebut memperkuat identitas ke-Tengger-an serta mempererat kehidupan beragama mereka.
Hal tersebutlah,yang membuat Suku Tengger Ngadas menjadi semakin unik. Masyarakat Ngadas pun secara konsisten untuk mempertahankan tradisi yang ada. Caranya,dengan memisahkan antara tradisi dan agama.Tidak mengherankan jika diadakan tradisi ritual seperti upacara Karo,Pujan dan Galunggan maka semua warga Desa Ngadas wajib mengikutinya baik itu beragama Budha,Islam maupun Hindu.
Faktor lain yang membuat kehidupan beragama Suku Tengger Ngadas adem ayem adalah ketokohan pemuka adat.Desa Ngadas sendiri dipimpin seorang dukun yang bertugas memimpin ritual upacara-upacara Tengger termasuk Kasodo Bromo.Tampuk kepemimpinan dukun Ngadas dilakukan secara turun temurun dan bukan melalui pemilihan.Untuk sekarang,jabatan pemuka adat Ngadas sendiri, dipegang oleh Ngatrulin atau yang akrab disapa Mbah Man yang beragama Budha.
“Sejak awal,,mayoritas penduduk Ngadas memang beragama Budha sehingga berbeda dengan desa-desa Tengger lainnya,’ujar sesepuh desa berusia 77 tahun tersebut ketika ditanya perihal agama Suku Tengger Ngadas.Mbah Man juga menjelaskan Suku Tengger sendiri merupakan keturunan dari pasangan Roro Anteng dan Joko Seger yang berasal dari Majapahit.Bahkan nama Tengger sendiri diambil dari pasangan tersebut (Anteng dan Seger).
Mayoritas agama Budha sendiri yang dianut warga Ngadas adalah Budha Jawa Sanyata yang mengacu pada ajaran Ki Semar.”Ki Semar merupakan sesepuh dan perintis Budha Jawa sedangkan agama Budha sendiri sudah ada sejak Ngadas berdiri termasuk Mbah Sedhek,”jelas Mistono, wakil ketua organisasi Budha Jawa Sanyata.Meski diakui Mistono meski ada beberapa aliran Budha tapi pada intinya semuanya menuju kepada Budha Gautama dan semuanya tetap berinduk pada Walubi.
Meski dipermukaan antara agama Budha dan Hindu berbeda namun sejatinya hal tersebut tidak berlaku di Desa Ngadas. Kedua agama tersebut setelah ditelisik lebih lanjut ternyata mempunyai banyak persamaan. Bahkan ritual-ritual ajaran Budha yang mayoritas dianut warga Ngadas terdapat dalam Hindu.Hal tersebut bahkan diakui sendiri oleh seorang pemuka Hindu Ngadas,Suliono.”Banyak ritual-ritual yang diadakan dalam Budha ternyata ada juga dalam kitab Wedha Hindu,”tutur bapak 3 anak tersebut.Bahkan karena hal itu pulalah yang membuat Suliono memutuskan untuk beralih menjadi pemeluk Hindu.
Keberadaan Hindu di Ngadas sendiri pada mulanya justru dibawa oleh orang Bali dan orang Tengger Pasuruan yang berkunjung ke Ngadas pada tahun 1990-an.Suliono pun menambahkan sampai sekarang terdapat 35 kepala keluarga Hindu yang menetap di Ngadas.Untuk pemilihan pemuka agama Hindu di Desa Ngadas ditentukan oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) kabupaten Malang.Dikalangan warga Hindu Ngadas sendiri tiap bulan mengadakan pertemuan Dharmatula untuk membahas persiapan upacara.
Selain agama Hindu dan Budha,Islam juga turut mewarnai kehidupan beragama di Desa Ngadas.Perkembangan Islam sendiri hampir sama dengan Hindu.Islam masuk pada tahun 1990-an yang dibawa para pendatang yang berjumlah 3 kepala keluarga.Menurut Tri Wibagio,salah seorang pemuka Islam Ngadas,Islam berkembang sedikit demi sedikit.”Sampai saat ini ada 115 orang yang beragama Islam,mulai dari yang kecil sampai tua,”jelas pria yang berprofesi sebagai petani tersebut.Selain itu,diadakan juga kegiatan rutin berupa Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ),pengajian ibu-ibu serta pembinaan agama dari ulama-ulama Poncokusumo sebulan sekali.
Dengan keanekaragaman agama yang dianut Suku Tengger Ngadas makin membuat kehidupan beragama disana makin dinamis.Dengan memisahkan identitas adat serta agama dalam kehidupan bermasyarakat,warga Tengger Ngadas masih dapat mempertahankan tradisi mereka sampai sekarang.””Kerukunan yang ada di Ngadas ini mengacu pada adat yang berlaku.Jadi siapapun yang masuk Ngadas harus ikut upacara,”ucap Buasan,tokoh agama Budha Ngadas. Hampir senada dengan Buasan,Suliono juga menambahkan jika ada perayaan agama tertentu maka biasanya orang-orang diundang untuk sekedar makan-makan serta saling membantu jika ada warga yang mempunyai hajatan.
Selain untuk mempererat kerukunan umat beragama di Ngadas,kewajiban untuk mengikuti tradisi upacara juga digunakan sebagai parameter untuk menentukan apakah orang yang bersangkutan masih Suku Tengger atau bukan.Salah satunya dengan wajib mengikuti upacara Kasodo di Gunung Bromo.Hal tersebut dilakukan untuk menjaga kelestarian tradisi Tengger agar tidak hilang ditelan arus modernisasi sebagaimana yang terjadi di Gubug Klakah.
Tradisi menarik lainnya yang turut menghiasi kehidupan warga Ngadas adalah adanya pantangan untuk berpoligami.Poligami ini diberlakukan kepada seluruh warga asli tanpa pandang bulu termasuk yang beragama Islam.”Kalau ada yang melanggar,sanksinya dikeluarkan dari desa dan harus membayar denda 100 sak semen yang dibayar ke desa,”ucap Kartono yang telah menjabat sebagai kepala desa sejak 1999 lalu.
Tidak hanya hukum adat itu saja yang berlaku,pada malam hari warga tidak diperbolehkan utnk memasuki ladang termasuk milik sendiri.Hal tersebut diberlakukan untuk mencegah jika ada sesuatu yang hilang maka ditakutkan akan menjadi tertuduh.Selain itu,waktu bertamu ke rumah orang lain juga ikut dibatasi sampai jam 9 malam. (dewi sartika)

Tinggalkan komentar